Hingga kini,
konsumsi tembakau menjadi polemik di negara kita. Setiap tahun lebih dari
400.000 orang meninggal dunia di Indonesia karena berbagai penyakit yang
terkait dengan kebiasaan merokok; atau sekitar 2.000 orang setiap hari.
Asap rokok membunuh satu non-perokok dari setiap 8 orang yang meninggal akibat
merokok. Adapun, peringatan mengenai bahaya kesehatan akibat
merokok sudah banyak dilayangkan, antara lain berupa kampaye dari lembaga
swadaya masyarakat, iklan layanan masyarakat di media televisi, koran, di kaca
belakang bis TransJakarta, hingga di kemasan rokok sekalipun. Namun, tidak juga
mengurangi ketidakpedulian dari para perokok yang hingga kini diperkirakan
jumlahnya sekitar 70 juta perokok aktif di Indonesia yang mengonsumsi 250
miliar batang rokok per tahun.
Disisi lain, pemerintah belum
meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau-WHO (WHO Framework
Convention on Tobacco Control/WHO FCTC)2 karena menghadapi
permasalahan terkait besarnya kontribusi pendapatan negara dari cukai yang
dibayarkan perusahaan tembakau. Disamping cukai, pertimbangan yang menjadi
komponen industri rokok adalah marjin keuntungan bagi petani tembakau dan
cengkeh, pekerja pabrik, kemasan, dan penambahan rasa. Indonesia merupakan
satu-satunya anggota WHO yang tidak meratifikasi WHO FCTC.
Harga tembakau di Indonesia tidak
mahal, dan tarif pajak juga rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di
kawasan Asia. Pajak tembakau di Indonesia berada di bawah rekomendasi Bank
Dunia yang menyatakan bahwa pajak tembakau adalah dua pertiga hingga empat
perlima dari harga ritel3. Kebijakan ini yang membuat angka kemiskinan
semakin jalan ditempat atau bahkan meningkat. Tahun 2005, rumah tangga perokok
membelanjakan pengeluaran bulanan untuk tembakau rata-rata 11,5%; angka ini
lebih besar dibandingkan untuk belanja ikan, daging, telur dan susu (11%), dan
3,2% untuk biaya pendidikan5. Alokasi pengeluaran rumah tangga untuk
produk tembakau yang cukup besar menjadi masalah yang serius bagi kesejahteraan
penduduk Indonesia, terutama rumah tangga yang berpendapatan rendah. Dengan
alokasi pengeluaran yang lebih tepat kemungkinan besar dapat membantu
kesejahteraannya, misalnya porsi belanja untuk produk tembakau digunakan untuk
kesehatan, pendidikan dan peningkatan gizi rumah tangga.
Kebijakan terkait konsumsi tembakau
Tembakau mengandung zat adiktif dan
bersifat karsinogen. Dengan demikian, Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan menetapkan bahwa kawasan tanpa rokok antara lain: fasilitas pelayanan
kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah,
angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum serta tempat lainnya. Khusus bagi
tempat kerja, tempat umum dan tempat lainnya dapat menyediakan tempat khusus
untuk merokok.
Sebagai lanjutan dari peraturan tersebut, maka
pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur
DKI Jakarta nomor 88 tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor
75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok. Peraturan tersebut menyatakan
bahwa tempat khusus merokok harus memenuhi ketentuan terpisah secara fisik dan
terletak di luar gedung, serta tidak berdekatan dengan pintu keluar masuk
gedung.
Implementasi Tempat Khusus Merokok
Peraturan yang dikeluarkan
pemerintah daerah menjadi wajib bagi praktisi di sektor bangunan daerah Jakarta
untuk mematuhi ketentuan tempat khusus merokok baik untuk gedung kantor maupun
gedung komersial. Meskipun peraturan tidak berlaku surut, namun pentingnya
kesehatan bagi seluruh pengguna gedung merupakan pertimbangan utama. Artinya,
peraturan tersebut akan lebih mudah diterapkan pada gedung-gedung baru, namun
menjadi sulit pada gedung yang sudah lama dibangun, apalagi jika gedung
terbangun tersebut sudah menyediakan tempat khusus merokok di dalam gedung yang
bersangkutan. Alhasil, yang didapati adalah pemandangan orang merokok di area
parkir, tangga darurat, toilet, di dalam area gedung terutama pusat
perbelanjaan yang tidak terlalu ketat manajemen pengelolaannya, dan kafe yang
membolehkan merokok meskipun letaknya di dalam gedung.
Upaya mengurangi jumlah perokok
dengan cara menghadapi langsung produsen tembakau akan menjadi sulit karena
berhadapan dengan nasib jutaan karyawannya dan penuh pertimbangan ekonomi dan
politik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah membatasi ruang gerak
bagi aktivitas merokok. Dalam hal ini, gedung sebagai lingkungan binaan yang
hampir 80% waktu manusia dihabiskan untuk beraktivitas, memiliki peran besar
untuk menurunkan jumlah konsumsi tembakau dengan tidak menyediakan kemudahan
bagi para perokok untuk mengonsumsi tembakau.
Gedung Tanpa Asap Rokok
Salah satu kriteria high performance
building (kinerja gedung yang optimal) adalah kualitas udara dalam gedung
yang sehat, antara lain dengan tidak menyediakan tempat khusus merokok di dalam
gedung dan apabila menyediakan tempat khusus merokok maka tempat tersebut
berada di luar gedung agar asap rokok tidak masuk ke gedung melalui pintu,
jalusi tempat masuknya udara luar dan bukaan jendela.
Asap rokok selain merugikan
kesehatan bagi perokok aktif dan perokok pasif, juga dapat menurunkan estetika
ruangan. Coba saja perhatikan abu yang bertebaran, bara rokok yang dapat
membolongi perabot interior, dan asap rokok yang melekat pada perabotan dan
meninggalkan noda sehingga menurunkan masa pakai perabotan tersebut. Kemudian,
terkait dengan sistem ventilasi gedung yang dikondisikan, asap rokok dapat ikut
masuk ke return air grille dan bercampur dengan udara luar, lalu setelah
mengalami pertukaran panas maka menghembuskan udara yang telah dikondisikan ke
ruangan di sebelahnya, dimana udara tersebut sudah tercampur dengan asap rokok.
Hal ini berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan pengguna
gedung meskipun tidak di ruang yang bersamaan dengan perokok.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan
lingkungan udara dalam gedung yang sehat sekaligus mengurangi angka konsumsi
tembakau, maka perlu komitmen tinggi dari manajemen puncak gedung untuk
melakukan kampanye stop merokok dan membatasi aktivitas merokok. Untuk gedung
yang dalam tahap desain, tidak menyediakan ruang khusus merokok berarti
mengurangi biaya pemasangan dan pemeliharaan ruang khusus tersebut ketika tahap
operasional. Kemudian, pada tahap operasional manajemen gedung menyediakan
media kampanye yang berisi mengenai larangan merokok dan himbauan akan bahaya
rokok yang diletakkan di tempat strategis. Media tersebut dapat antara lain berupa
stiker, poster, atau melalui e-mail. Selanjutnya, manajemen gedung
membuat dokumen yang berisi mekanisme tanggap dalam menertibkan pelanggar yang
merokok di dalam gedung, misalnya bekerja sama dengan petugas keamanan untuk
menegur dan mengarahkan perokok ke tempat yang diperbolehkan merokok.
Turut menjaga udara bersih akan
bermanfaat bagi semua orang. Dengan membuat peraturan yang ketat mengenai
larangan merokok dan peringatan bahaya merokok di area gedung berarti ikut
menyediakan lingkungan udara yang sehat bagi komunitas di sekitarnya dan
mengurangi biaya kesehatan serta ikut menjaga kebaikan keluarga dan generasi
masa depan dari bahaya merokok.
(http://udararuang.wordpress.com/2012/12/10/tembakau-dan-gedung-ramah-lingkungan/)
0 komentar:
Posting Komentar