Bamboo





 foto : http://intermediomx.wordpress.com

Penggunaan bambu dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Baik itu sebagai sumber makanan, alat rumah tangga, perabotan, kerajinan, konstruksi, hingga terkait dengan adat istiadat. Tetapi kita tidak boleh melupakan manfaat bambu dari sisi ekologi-nya, bambu dikenal sangat efektif untuk mereboisasi hutan yang gundul, ataupun sebagai penahan erosi, penyimpan air, peredam suara, dan penyerap karbon (Yayasan KEHATI, 2011). 
Bambu pada dasarnya adalah jenis tanaman Bamboidae anggota sub familia rumput yang memiliki keanekaragam jenis sekitar 1500 – 2000 di seluruh dunia. Indonesia memiliki 160 jenis dengan 22 genera atau setara dengan 10,7% jenis bambu dunia (Wijaya et al, 2004). Dari 160 jenis yang ada di negara kita, 122 jenis diantaranya adalah spesies endemik atau hanya ada di Indonesia.  Berikut sebaran jenis di beberapa kepulauan Indonesia: Jawa (56 spesies), Bali (44 spesies), Papua (31 spesies), Sulawesi (25 spesies), Kalimantan (23 spesies), Laiser sunda island (17 spesies), moluccas (14 spesies) (Wijaya, 2011). Elizabeth Wijaya adalah peneliti dari LIPI yang sudah puluhan tahun berkecimpung dengan koleksi dan identifikasi bambu di seluruh pulau Indonesia.
Indonesia merupakan negara ketiga terbesar di dunia yang memiliki hutan bambu terluas setelah Cina dan India. Namun sayangnya keragaman jenis ini terancam punah seiring dengan berkurangnya lahan habitat tumbuhnya bambu akibat konversi lahan menjadi perumahan ataupun pertanian. Selain itu, bambu sebagai sumber daya terbarukan di Indonesia dengan jumlah yang melimpah memiliki kendala dalam pemanfaatannya menjadi barang jadi karena kurangnya sumber daya manusia dan teknologi yang handal terkait dengan pengawetan bambu serta kurangnya dukungan pemerintah. Sebuah kasus ironi yang kerap kita jumpai ditengah melimpahnya bambu adalah bahan baku bambu di ekspor ke luar negeri kemudian diolah menjadi produk jadi di luar negeri lalu diimpor kembali ke negara kita. Sebagai contoh beberapa kegunaan serat bambu antara lain: untuk pakaian, kertas, bungkus flashdisc, kaos kaki anti bakteri, popok bayi, parket.


foto :http://www.archdaily.com

Menurut salah seorang pengusaha bambu Pak Jatnika dari Yayasan Bambu Indonesia (YBI), saat ini pemanfaatan bambu sedang gencar dalam memproduksi ‘rumah bambu’. Jumlah produksi sekitar 3127 rumah bambu yang digunakan di dalam negeri dan di ekspor ke luar negeri antara lain Amerika dan Jerman. Produksi rumah bambu ini merupakan muara sang pengrajin artinya menyerap banyak tenaga kerja daerah pedesaan. Salah satu contoh yaitu untuk membuat bilik rumah bambu dilakukan oleh penduduk di dua desa. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahan pengawet untuk rumah bambu ekspor tidak boleh menggunakan arsenik karena sudah dilarang, oleh karena itu YBI menggunakan borax sebagai pengawet. Pak Jatnika mengutip fatwa dari Raja Haor Koneng yang konon berasal dari kerajaan di Cianjur Selatan pada jaman dahulu kala; Kalau ingin sejahtera, maka orang sunda harus menanam 1000 rumpun bambu. Inilah yang menyemangati beliau untuk terus bergelut dalam perbambuan Indonesia.
Terkait dengan rumah bambu, maka arsitek harus memahami karakter bambu. Bahwa meskipun bambu sudah diawetkan dan tahan terhadap hama, namun sifat bambu juga harus dikenal. Bambu sebaiknya tidak berada pada tempat dengan kelembaban tinggi, basah atau terkena matahari terlalu sering. Hal ini dapat mengundang kumbang bubuk dan rayap sebagai hama utama, sehingga mengurangi estetika, menurunkan kegunaan dan kekuatan bambu. Oleh karena itu orientasi bangunan terhadap jatuhnya sinar matahari perlu dipertimbangkan. Biasanya rumah bambu dibuat semi permanen dan sedemikian rupa membuat overstek agar bambu eksterior tetap awet.
Tips dalam penggunaan bambu untuk arsitektural adalah bambu yang dipanen pada umur yang tepat (biasanya 4-5 tahun), pengawetan bambu benar, pemakaian bambu diperlakukan seperti kayu yaitu tidak terkena matahari dan hujan. Dengan treatment yang tepat usia rumah dari bambu bisa lebih dari sekitar 15 tahun. Hutan bambu banyak ditanam di pinggir sungai untuk memperkuat struktur tanah, mengurangi sedimentasi dan membantu purifikasi air sungai (penjernihan air dengan filter akarnya). Di desa, umumnya mencari mata air di dekat pohon bambu karena airnya biasanya jernih. Namun, bambu lembah (dekat sungai) kualitasnya tidak sebagus bambu yang ditanam di lereng. Karena air hujan di hutan bambu yang berada di lereng akan langsung mengalir ke daerah yang permukaannya lebih rendah sehingga kelembaban bambu lereng lebih rendah dibandingkan bambu lembah. Dengan demikian, untuk pembuatan perabot dan kerajinan sebaiknya jangan menggunakan bambu lembah.

 foto :http://www.archdaily.com


Dulu ada anggapan bahwa rumah di kota yang terbuat dari bambu adalah rumahnya orang miskin, tapi saat ini dari informasi YBI bahwa konsumen rumah bambu di Jakarta rata-rata adalah kalangan menengah keatas. Selain karna bambu yang harganya juga tidak terlalu mahal, bambu juga mempunya estetik yang lebih indah.

(http://udararuang.wordpress.com/2011/12/07/belajar-tentang-bambu-indonesia/)










0 komentar:

Posting Komentar

 
ab_architects. Diberdayakan oleh Blogger.