Sejarah Arsitektur di Indonesia (Jilid 2)



foto (http://sebuah-catatanku.blogspot.com)


Dibawa pemerintahan rezim Soekarno, arsitektur modern di Indonesia memiliki kepentingan politik yang tidak pernah diperoleh sebelumnya. Di dalam kerangka “pembangunan bangsa” (nation building), suatu awal yang mencengangkan dimulai pada akhir 1950-an, yaitu pembongkaran bangunan-bangunana lama, pendirian bangunan-bangunan baru, pelebaran jalan, dan pembangunan jalan-jalan bebas hambatan yang baru. Pencangkar langit dan teknologi bangunan modern baik dalam perencanaan tampak, pemilihan bentuk, sistem konstruksi dan bahan bangunan. Sikapnya terhadap desain terekspresikan dalam solusi arsitektur yang unik seperti ventilasi silang, teritisan atap yang lebar, dan selasar-selasar. Proyek-proyek besarnya di Jakarta termasuk Bank Indonesia di jalan Thamrin, Wisma Dirgantara di jalan Gatot Subroto, Gedung Pola, dan Mesjid Istiqlal. 

Sejak kejatuhan Sukarno pada tahun 1965, pemerintah Orde Baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto telah menyalurkan investasi asing ke Jakarta dan telah melaksanakan rencana modern secara intensif sesuai dengan tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia. Proyek-proyek yang ditinggalkan oleh Soekarno kemudian diselesaikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Jenderal Ali Sadikin termasuk gedung MPR & DPR di Senayan, Mesjid Istiqlal, Taman Impian Jaya Ancol, serta beberapa pusat perbelanjaan yang disetujui oleh Soekarno. Rencana-rencana ini dikembangkan oleh Ali Sadikin, mencakupi gedung kantor bertingkat, pusat perbelanjaan serta program perbaikan kampung untuk memperbaiki kondisi kehidupan rakyat miskin. Proyek-proyek konstruksi masa juga mulai bermunculan, terutama disepanjang jalan Thamrin dan Sudirman. Di bawah pimpinan Ali Sadikin, Jakarta mulai bertransformasi menjadi suatu sistem urban yang tertata dengan baik.

Jenderal Ali Sadikin juga bermaksud untuk menjadikan Jakarta sebagai tujuan wisata bagi para wisatawan dari Timur dan Barat. Pada tahun 1975, dikembangkan suatu program untuk merestorasi dan mengkonservasi bagian Kota Tua dari Jakarta serta beberapa situs bersejarah lainnya. Sebuah dinas dibentuk di Direktorat Pengembangan Kota untuk menangani tuga jhusus ini. Prestasi terpenting yang telah dicapai adalah restorasi dan rehabilitasi alun-alun kota Batavia, yang kemudian disebut Taman fatahillah. Program restorasi dan rehabilitasi Ali Sadikin secara bertahap mengubah sikap masyarakat terhadap warisan arsitektur kolonial. Meskipun tidak ada alasan idealogis untuk mempreservasi suatu area atau bangunan yang berhubungan erat dengan sejarah kolonisasi Belanda dan kebijakan-kebijakannya yang desktuktif sepertibudaya tradisional, yang selalu dihubungkan dengan citra pemerintahan Orde Baru, dikumandangkan melalui pendirian taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada bulan April 1975. Proyek ini dikenalkan kepada masyarkat sebagai ekspresi dari ideologi Pancasila dan intisari program budayanya-Kesatuan dalam keragaman. TMII tidak hentinya difoto dan dikomentari oleh media massa, teruma oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai televisi nasional. Untuk mengiklankannya sebagai karya besar bangsa dan untuk mendorong para wisatawan mancanegara maupun domestik mengunjunginya. Implikasi dari proyek TMII terhadap perkembangan arsitektur indonesia tidak dapat diabaikan, terutama untuk mengekang kecenderungan-kecenderungan modern dalam arsitektur kotemporer dan lebih menerapkan  kanon-kanon artistik tradisional. 

Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto memegang peran utama dalam program besar untuk membangkitkan kembali kerinduan pada kehidupan pedesaan Indonesia, melalui penggunaan tema-tema arsitektur etnik. Mereka hadir pada upacara-upacara dan perersmian bangunan-bangunan penting yang disainnya didasarkan pada langgam arsitektur tradisional. Jenis arsitektur seperti ini kemudian dipahami sebagai langgam resmi yang dianjurkan., dan bagi sebagian besar pejabat pemerintah jenis bangunan seperti ini juga mencerminkan sebagai suatu komitmen ideologis. Tidak mengherankan jika kemudian langgam arsitektur tradisional secara meluas diterapkan pada bangunan-bangunan besar seperti kanto, hotel, kampus, bangunan pemerintah, dan sebagainya. Pengadopsian langgam tradisional secara membabi-buta ini seringkali menampilkan sisi sinis dari propaganda arsitketur Orde Baru yang berkeinginan untuk “mengungkapkan esensi dan kontinuitas, alih-alih mencatakan eksistensi dan perubahan”. (by iwan sudrajat, indonesian architecture now: imelda akmal)

0 komentar:

Posting Komentar

 
ab_architects. Diberdayakan oleh Blogger.